Denda 10%. Itulah akibat terlambat membayar SOP (Sumbangan
Operasional Pendidikan). Mau bagaimana lagi? Tabungan terpakai sebagian untuk
bantu saudara. Mau bayar pakai apa? Di sisi lain, portal kampus terlalu lambat
loadingnya. Lama-lama lupa. Waktu ingat lagi, portal kampus penuh terus, jadi login-nya
mesti antri. Pas telpon teman, ternyata dateline bayarnya udah lewat seminggu.
Mau ngurus ke kampus, kerjaan di kantor nggak abis-abis. Akhirnya baru hari ini
bisa ngurus ke kampus.
Pertama, karena tidak tahu apa masih bisa bayar meski
terlambat, jadinya harus tanya-tanya dulu. Langsung deh browse di internet,
nomor kontak bagian keuangan. Ada 3 nomor contact person, semua di-sms,
hanya satu yang menanggapi (sempat terpikir, kalau pelayanannya excellent, mestinya
semua langsung menanggapi). Yah, Alhamdulillah, masih ada yang menanggapi
(mestinya karyawan yang bisa memberikan pelayanan excellent seperti itu diberi
penghargaan ya… karena hal itu sangat berhubungan dengan citra instansi). Nah,
ternyata masih bisa bayar kok, tapi harus ke bagian keuangan dulu untuk buka
blokir. Jadi, pergilah aku ke sana.
Berikutnya, ke bagian keuangan. Di sana mesti mengisi
blangko keterlambatan. Saat menerima blangko, judul blangkonya adalah
permohonan keterlambatan pembayaran. Rasanya kok nggak tepat ya… Aku kan mau
bayar, kenapa mesti memohon segala. Aneh! Seharusnya judul blangkonya : surat
pernyataan keterlambatan pembayaran SOP.
Saat mengambil blangko ternyata nggak sendiri, ada satu
mahasiswa yang juga sedang mengurus keterlambatan. Petugas di sana menjelaskan,
bahwa setelah blangko diisi, blangko harus dibawa ke fakultas agar dapat tanda
tangan wakil dekan I (bagian keuangan). Yah, bisa dipahami, wadek I harus tahu ada
pembukaan pemblokiran juga kan… Cuma waktu itu sempat terpikir, iya kalau pas
waktu itu wadek I ada di tempat. Kalau tidak? Atau sedang keluar kota dalam
waktu lama dan tidak bisa digantikan oleh yang lain? Alhamdulillah saat itu
beliau sedang ada di tempat.
Selain itu juga sempat teringat keluhan mahasiswa yang
sama-sama mengurus keterlambatan di bagian keuangan tadi. Aku masih beruntung
karena kampusku satu lokasi dengan rektorat, jadi tinggal jalan kaki. Bagaimana
dengan mahasiswa lain yang fakultasnya ada di kampus A atau B, lalu nggak punya
kendaraan, atau nggak punya uang saku untuk bayar bemo (aku pernah merasakan
pengalaman nggak punya uang saku untuk naik bemo waktu SMU dan S1). Betapa
sengsaranya… Padahal cuma mau bayar keterlambatan, memenuhi kewajiban yang
tertunda karena alasan yang pasti shahih (biaya kuliah sekarang makin mahal
kan!).
Nah, setelah dapat tanda tangan wadek I (sempat ditegur
karena pakai alasan lupa), blangko harus diberikan ke sekretaris dekan untuk
dapat nomor surat. Bicara tentang alasan lupa, tentu saja kutulis alasan lupa,
karena nggak mungkin menulis alasan seperti di atas kan? Ribet, bertele-tele, cuma
mau bayar aja kok repot amat! Yang keluar uang juga aku, bukan kampus yang
bayar ke aku, begitu yang sempat terpikir. Tadi sempat bilang seperti itu juga
ke wadek I tapi sambil bercanda : “Bu, yang keluar uang kan saya”. Tanggapan bu
Wadek : “Masalahnya bukan itu…”. Dalam hati aku berpikir, ya bu… masalahnya
bukan itu. Ini masalah saya terlambat menunaikan kewajiban bayar. Tapi
kewajiban bukan lagi kewajiban saat kompensasi dari terlambat bayar adalah
nggak bisa mengisi KRS dan kuliah. Kalau belum bayar, otomatis kampus tidak
perlu melaksanakan kewajiban pendidikan terhadap mahasiswa yang bersangkutan
kan? Jadi kosong-kosong, nggak bayar, nggak kuliah. Tidak menunaikan kewajiban
bayar, kampus tidak perlu menunaikan kewajiban pendidikan.
Nyaris! Tinggal minta nomor surat ke sekretaris dekan, baru
saja sekretaris dekannya pamit pulang. Aku nggak bayangkan, kalau saja nggak
ada petugas kesekretariatan yang lain, pasti aku harus balik keesokan harinya
hanya untuk minta nomor surat. Alhamdulillah, terbukti memang, apabila kita
memudahkan saudara kita, maka Allah juga pasti akan memudahkan kita. Aku memang
suka kasihan kalau melihat orang lain susah, jadi kalau bisa bantu pasti aku
bantu. Akhirnya, dapat juga nomor suratnya.
Ada pemandangan menarik saat menunggu petugas
kesekretariatan mencari daftar nomor surat (lucu juga melihat daftar nomor
suratnya masih manual, pake buku besar seperti buku arisan. Hari gini belum
ter-computerized?! Ya ampun…). Pemandangan menarik yang kumaksud adalah
selembar kertas yang tertempel di papan tempel di belakang meja kesekretariatan.
Di sana tertulis : Nasib karyawan sejati, datang terlambat dimarahi, minta naik
gaji ditandai, dan beberapa baris yang aku nggak ingat keseluruhannya. Saat
membaca itu, dalam hati aku berpikir, kalau begini pikiran yang ada di benak setiap
staf di instansi ini, wajar jika pelayanannya setengah hati. Akibat kronisnya
adalah sulitnya instansi berkembang dan memperbaiki diri. Hati dan pikiran
sudah tertutupi rasa curiga, dengki, serta tidak puas terhadap diri dan lingkungan kerja. Akhirnya kualitas
kerja dan prestasi menurun. Para staf malas melayani apalagi mengembangkan
diri.
Nah, setelah urusan nomor surat selesai kukira bisa langsung
dibawa lagi ke rektorat, ternyata harus belok dulu ke bagian pendidikan. Kukira
juga, di sana ada hal penting yang harus dilakukan. Ternyata cuma dilihat oleh
petugasnya (yang saat aku masuk cuma terlihat diam menunggu, duh… kalah satpam
bank), lalu petugasnya bilang silakan ditulis nama wadek I beserta NIP-nya,
lalu fotokopi 2 kali. Ya ampun! OK deh… kalau memang begitu prosedurnya. Yang
lucu adalah : coba aku tadi nggak tanya dimana bisa melihat nama lengkap dan
NIP Wadek I, pasti aku harus muter-muter nyari. Setelah aku tanya, petugasnya
langsung mengambilkan salah satu ijazah mahasiswa yang di dalamnya tertera nama
serta NIP Wadek I. Padahal kalau sang petugas berniat memberikan pelayanan
sepenuh hati, dia bisa saja membantu menuliskan nama dan NIP Wadek. Nggak berat
kan, orang kegiatannya saat itu juga nggak banyak! Sambil menulis aku cuma bisa
geleng-geleng kepala, begini punya visi excellent! Mau excellent darimananya?
Pelayanannya saja setengah hati…
Jadi, pergilah aku ke koperasi kampus di mana layanan
fotokopi berada. Saat berjalan aku berpikir, sekolah dasar tempatku bekerja
tidak besar. Tapi kalau urusan fotokopi saja sih nggak perlu harus keluar
kantor. Kalau di TU nggak ada mesin fotokopi, petugas TU akan dengan ikhlas
men-scan dan mencetakkan. Padahal gaji karyawan di sekolah swasta (tingkat SD
lagi) tidak begitu besar, tapi pelayanannya diupayakan maksimal. Lha ini… ck…ck…ck…!
OK, fotokopi selesai. Dengan semangat aku bawa lembaran blangko itu kembali ke
bagian pendidikan. Ternyata di sana cuma distempel, lalu diberikan lagi padaku
untuk dibawa kembali ke rektorat. Ealah… gitu thok! Bayangkan kalau aku harus
ke kampus A atau B hanya untuk mendapatkan stempel dari bagian pendidikan
fakultas, lalu balik lagi ke rektorat di kampus C. Alhamdulillah, aku nggak
harus melaluinya. Bagaimana dengan mahasiswa yang tadi ya… semoga dia juga
dimudahkan.
Sesampainya di rektorat aku langsung menuju loket registrasi
yang tadi. Ada sekitar 5 atau 6 orang di sana, dan semuanya bertampang “tidak
peduli”. Aku sengaja tidak memanggil siapapun dari petugas yang ada di sana.
Alasannya :
- 1. Aku nggak tahu siapa yang harus kupanggil (mau panggil sembarang orang, iya kalau sopan atau memang benar orang itu yang bertugas, kalau tidak?)
- 2. Di loket itu aku satu-satunya customer yang datang. Mestinya siapapun petugas yang ada di sana bisa melihatku, dan kalau pelayanannya excellent (misalnya di bank), maka petugasnya akan langsung menyambut customer. Begitu pula di sekolah tempat aku bekerja. Seluruh staf mulai dari pengelola sampai satpam mendapatkan pelatihan public relation. Sehingga jika ada tamu, siapapun yang melihat bisa langsung tahu apa yang harus dilakukan. Segera menyambut, menanyakan keperluan, dan membantu (jika perlu akan mengantar atau memanggilkan orang yang ingin ditemui). Karena itulah aku cuma berdiri di loket sambil membaca perilaku para staf yang ada di sana. Angkuh seru… padahal meskipun kampus negeri, kalau nggak punya mahasiswa repot juga kan? Kampus bisa gulung tikar, para staf akan kerja di mana?
Semua saling membutuhkan, jadi semestinya saling menghormati
dan memudahkan. Dan keangkuhan itu adalah selendang Allah. Hanya Dia yang
berhak memilikinya.
Akhirnya, seorang bapak menemuiku. Kuberikan blangko
padanya, dan aku dipersilakan duduk. Tak lama kemudian, mbak yang tadi
memberiku blangko kosong muncul dan menyelesaikan urusan blangko tersebut.
Sebagai ganti blangko yang kuserahkan, aku mendapatkan potongan kertas kecil
untuk membuka blokir. Kupikir, pemblokiran bisa langsung dibuka setelah aku
menyelesaikan urusan blangko tersebut, ternyata tidak. Aku harus membawa
potongan kertas kecil itu ke lantai 2 di bagian keuangan. Di sanalah
pemblokiran bisa dibuka. Huah… naiklah aku ke lantai 2. Lama menunggu lift,
aku naik lewat tangga. Masuk di bagian keuangan, nampak beberapa staf di sana.
Di meja layanan mahasiswa ada seorang petugas perempuan yang minim senyum dan
dalam keadaan hamil. Aku segera menyerahkan potongan kertas yang kubawa dan
menunggu blokir dibuka. Selama menunggu petugas tersebut mengetik beberapa
huruf di keyboard dan sesekali menggerakkan mouse-click, aku memperhatikan
bahasa tubuhnya. Dalam hati aku berpikir, apa dia sedang merasa tidak nyaman
dengan kehamilannya, atau hari sudah terlalu sore sehingga dia merasa sudah
waktunya pulang tapi masih harus melayani mahasiswa? Apa pikirannya sedang
terbebani sampai tidak satupun senyum tersungging di depan customer? Padahal senyum itu sedekah. Aku
memilih untuk berpikir positif, kehamilan memang kadang membawa kondisi tidak
nyaman pada fisik beberapa wanita. Dan itu nampak melalui sikap tubuhnya ketika
mengetik, badan dan tangannya tidak bergerak sedikitpun, hanya jari-jarinya
yang bergerak dengan malas. Kok bisa ya …?
Kalau diamati benar-benar, situasi di ruangan itu juga
cenderung tidak dinamis. Aku berpikir mungkin karena sebentar lagi jam pulang,
para staf sudah banyak yang lelah, dan sebagainya. Rasanya semua bergerak dengan
lambat. Wah kalau begini, wajar jika instansi ini majunya lama. Semangat dan
etos kerja para stafnya perlu di re-charge, kurang terbuka pada perubahan, dan
mengedepankan yang tampak luar saja. Aku jadi kasihan dengan dosen-dosen yang
kukenal dan memiliki semangat kerja yang tinggi. Sebuah instansi yang tampak
seperti raksasa tua terkena asam urat. Satu kakinya ingin berlari, yang satu
terseok-seok. Hhh… almamaterku. Ingin rasanya membantu agar berdiri kokoh
kembali.
Selesai blokir dibuka, aku diberitahu bahwa aku sudah bisa
melakukan pembayaran melalui bank-bank yang ditunjuk. Kuterima kembali potongan
kertas tadi, ternyata tidak diapa-apakan. Baris-baris perincian biaya yang
harus kubayarkan pun dibiarkan kosong. Sehingga aku sempat kembali untuk menanyakan
perihal denda. Karena saat itu aku kalkulasi nominalnya sudah tepat, aku nggak
merasa perlu meminta petugas menuliskan perinciannya. Jadi, kusudahi saja
wara-wiriku hari itu. Capek deh!
Sebenarnya saat itu aku berfikir, kenapa tidak di sini
sekalian bayar SOPnya? Ini kan bagian keuangan? Dan di bawah ada mesin ATM. Aku
bisa langsung ambil uang dan naik kembali ke bagian keuangan untuk bayar SOP,
selesai deh! Bank kan sudah cukup dapat bagian (biaya administrasi) dari
mahasiswa yang bayar tepat waktu. Masih belum cukupkah? Sampai-sampai mahasiswa
yang terlambat bayar harus kena charge administrasi di samping denda 10%? Ck…ck…ck…
Semoga kampus yang besar ini bisa segera membuat sistem terpadu untuk berbagai
layanannya. Sudah bukan jamannya bertele-tele lagi. Banyak dari instansi
pemerintah yang berbenah dan berubah. Kampus seharusnya menjadi pioneer perubahan
itu sebagai manifestasi slogan “Agent of Change”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar